Waktu shalat fardu kadang berkenaan dengan kondisi seseorang sedang bepergian menggunakan kapal atau pesawat, sehingga sudah barang pasti menghadapi kendala dalam pelaksanaan shalat. Melihat rujukan yang pernah dilakukan oleh Rasul, beliau pernah melakukan shalat sunnah diatas kendaraan dengan menghadap kiblat ke arah kendaraan melaju. Sedangkan untuk Shalat Fardhu sendiri, masalah yang sering terjadi pada waktu pelaksanaan shalat adalah karena sempitnya waktu, tidak mungkin diakhirkan ketika telah
sampai di tempat tujuan, dan tidak bisa dijamak dengan shalat sebelum
atau sesudahnya. Lalu bagaimana hukumnya untuk shalat fardhu yang dilaksanakan diatas kapal atau pesawat?
Kondisi di kapal dan di pesawat adalah kondisi sulit untuk turun dari
kendaraan. Namun jika shalat wajib bisa dikerjakan dengan turun dari
kendaraan, maka itu yang diperintahkan. Sehingga jika shalat wajib itu
bisa dilakukan dnegan turun dari kendaraan dengan cara dijamak dengan
shalat sebelum atau sesudahnya, maka baiknya shalat tersebut dijamak.
Akan tetapi, jika khawatir keluar waktu shalat atau shalat tersebut
tidak bisa dijamak, maka tetap yang jadi pilihan adalah shalat wajib
tersebut dikerjakan di atas kendaraan. Tidak boleh sama sekali shalat
tersebut diakhirkan. Semisal shalat Shubuh yang waktunya sempit, tetap
harus dilaksanakan di atas kapal atau pesawat.
Melaksanakan shalat di atas kapal dihukumi sah menurut kesepakatan
para ulama karena kapal sudah ada sejak masa silam. Sedangkan mengenai
shalat di pesawat tersirat dari perkataan Imam Nawawi dalam kitab Al
Majmu’, beliau berkata, “Shalat seseorang itu sah walau ia berada di
atas ranjang di udara.”[1] Sehingga dari perkataan beliau ini diambil hukum bolehnya shalat di atas pesawat.
Menghadap kiblat saat shalat wajib termasuk syarat shalat. Adapun
dalam shalat sunnah di atas kendaraan bisa jadi gugur menghadap kiblat[2]. Namun tetap disunnahkan ketika takbiratul ihram menghadap kiblat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ
يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى
حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar dan
ingin melaksanakan shalat sunnah lantas beliau mengarahkan kendaraannya
ke arah kiblat. Kemudian beliau bertakbir, lalu beliau shalat sesuai
arah kendaraannya.” (HR. Abu Daud no. 1225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Adapun dalam shalat fardhu (shalat wajib), menghadap kiblat merupakan syarat.
Dari penjelasan di atas, kita beralih pada masalah menghadap kiblat
ketika shalat di kapal atau pesawat. Menghadap kiblat kala itu tidak
lepas dari dua keadaan:
- Jika mampu menghadap kiblat karena ada tempat yang luas seperti di kapal, maka wajib menghadap kiblat.
- Jika tidak mungkin menghadap kiblat karena tempat yang sempit, maka gugur menghadap kiblat.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghabun: 16).Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Mengenai Berdiri
Berdiri bagi yang mampu merupakan rukun dalam shalat wajib. Dalilnya
adalah hadits dari ‘Imron bin Hushoin yang punya penyakit bawasir, lalu
ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalatnya, beliau pun bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
0 komentar:
Posting Komentar